MAKNA DIN DAN MILAH DALAM AL-QUR’AN







Kajian-kajian untuk memahami makna semantik dan etimologis kata DIN dalam al-Quran telah dilakukan berulang-kali oleh beberapa sarjana. Kajian-kajian yang dilakukan oleh para sarjana non-Muslim, pada umumnya, tidak hanya mencari makna kata dn tetapi juga menelusuri asal-usul kata ini dan pergeseran maknanya dalam sejarah penggunaannya. Kajian-kajian itu telah melahirkan teori-teori tentang asal-usul kata ini: kata ini berasal dari kata Ibrani, Etiopia, Aramia, Suryani, atau Persia. Penelusuran asal-usul kata ini merupakan sebuah masalah yang sangat komleks dan rumit. Teori bahwa kata ini berasal dari kata asing (non-Arab) tidaklah mustahil, tetapi teori ini tidak akan banyak membantu mempermudah pemahaman kita tentang makna kata ini dalam al-Quran.

Karena itu, pembicaraan tentang masalah ini lebih baik ditinggalkan. Lebih tepat kita membicarakan makna kata ini dalam batas-batas bahasa Arab itu sendiri. Dengan cara ini, kata Toshihiko Izutsu, seorang sarjana Jepang dalam bidang Studi-studi Keislaman, bukanlah kita menyatakan secara tidak langsung bahwa mesti ada satu makna asal yang terikat pada akar kata D-Y-N yang melahirkan berbagai makna. Ini sungguh mustahil menurut ilmu bahasa. Dalam kasus seperti ini, seorang ahli bahasa modern menganggap dari pemulaan adanya lebih dari satu akar independen di bawah satu bentuk yang umum. Gejala ini adalah satu gejala yang sangat umum dari polisemi murni.

BAB I : PENDAHULUAN
Para sarjana telah membuktikan bahwa dalam kesusasteraan Arab pra-Islam telah ada kata dn, yang memiliki tiga arti yang dominan:
(1) adat atau kebiasaan,
(2) balasan, dan
(3) kepatuhan. 
-------------------------------

BAB II : DIN DARI KHAZANAH ISLAM

CHAPTER I

Kedatangan Islam memperkaya arti kata ini dengan tetap mempertahankan arti-arti asal pra-Islam itu. Jika kita membuka kamus-kamus bahasa Arab yang disusun sejak masa dulu sampai masa kini, kita akan menemukan bahwa kata din memiliki banyak arti, yaitu:
(1) pembalasan, (2) perhitungan, (3) keputusan, (4) kepatuhan,
(5) ketundukan, (6) sikap berserah diri (islm), (7) kerendahan, (8) warak,
(9) adat atau kebiasaan, (10) keadaan, (11) tingkah laku, (12) kekuasaan,
(13) pemaksaan, (14) cara atau jalan, (15) peraturan, (16) hukum,
(17) syariah, (18) akidah, dan (19) agama (millah).


CHAPTER II :
Mari kita membicarakan MAKNA DIN DALAM AL-QURAN. Kata dn muncul 94 kali dalam al-Quran, sekitar separuhnya muncul pada periode Makkah dan separuhnya mucul pada periode Madinah. MenurutYvonne Haddad, seorang pengkaji Islam, ada empat periode yang berbeda dari pemakaian istilah dn dalam al-Quran:
  1. Periode Makkah pertama (dengan munculnya kata dn 13 kali)
  2. Periode Makkah kedua (dengan munculnya kata dn 6 kali),
  3. Periode Makkah ketiga (dengan munculnya kata dn 29 kali),
  4. dan periode Madinah (dengan munculnya kata dn 46 kali)
DIN BERMAKNA PEMBALASAN, PERHITUNGAN DAN PENGADILAN
Salah-satu MAKNA ASAL DIN dalam Al-Quran adalah PEMBALASAN, yang biasanya diartikan juga dengan PERHITUNGAN/PENGADILAN. Perhatikan beberapa contoh berikut:

Raja hari pembalasan. (Q 1: 3)
Dan mereka berkata: Aduhai, celakalah kita, inilah hari pembalasan. (Q 37: 20)
Bukan hanya durhaka saja, bahkan kamu mendustakan hari pembalasan. (Q 82: 9)

Makna PEMBALASAN, PERHITUNGAN DAN PENGADILAN adalah SANGAT PENTING dalam pandangan dunia Al-Quran. Makna ini TERMASUK WILAYAH EKSATOLOG Yang mupakan bagian yang TIDAK DAPAT DIPISAHKAN DARI RUKUN IMAN Yaitu IMAN KEPADA HARI AKHIR. Namun, kita harus meninggalkan pembahasan makna ini karena karena tempatnya yang tepat adalah dalam wilayah eskatologi. Makna ini tidak memiliki relevansi langsung dengan topik kita di sini. Makna asal dn yang memiliki kaitan langsung dengan topik ini adalah makna asal lain.
Makna asal lain itu dari DIN adalah KEPATUHAN. Pemahaman DIN dengan makna KEPATUHAN, jika dilihat secara ketat, tidak sepenuhnya tepat karena kepatuhan menampilkan hanya satu aspek kandungan makna kata ini. Aspek lain, yaitu aspek yang berlawanan dengan kepatuhan, tidak bisa diabaikan.

Kata DIN [atau kata kerja DAANA] termasuk kelompok kata-kata yang dikenal sebagai ADHADAAD, yaitu kata-kata yang memiliki dua makna yang berrbeda. Maka kata dn mempunyai dua sisi yang berlawanan Yaitu : SISI AKTIF DAN SISI RESEPTIF.
  1. SISI AKTIF, kata DIN berarti MENUNDUDAKAN, MENAKLUKAN, MENEKAN, MEMAKSA, MENGUASAI, MENGENDALIKAN (PENUNDUKAN, PENAKLUKAN, PENEKANAN, PEMAKSAAN, PENGUASAAN, PENGENDALIAN).
  2. SISI RESEPTIF, kata DIN berarti PATUH, TAAT, TAKLUK, PASRAH, MENYERAH (KEPATUHAN, KETAATAN, KETAKLUKAN, KEPASRAHAN, PENYERAHAN).
Tentang dua makna, atau dua kelompok makna, yang berlawanan ini, Toshihiko Izutsu, mengatakan bahwa bahwa tidak ada sesuatu yang mengagetkan tentang masalah ini. Sebagaimana banyak kata-kata lain dari kategori ini, perspektif khusus yang terbentuk pada kata ini menunjukkan suatu pandangan lengkap dan menyeluruh tentang masalah ini yang memungkinkan kita memandang sesuatu yang sama dari dua ujung.
Dengan Kata-Lain Bahwa kata DIN DAPAT DIPAHAMI SEBAGAI DUA MAKNA BERLAWANAN PADA WAKTU YANG SAMA seperti :
  • PENUNDUKAN dan KETUNDUKAN
  • PENAKLUKAN dan KETAKLUKAN
  • PEMAKSAAN dan KEPASRAHAN
  • PENAKLUKAN dan KEPATUHAN
Artinya Bahwa Makna DIN bahwa kebenaran dalam masalah ini adalah bahwa kedua makna tersebut digunakan pada waktu yang sama tanpa pemisahan keduanya ke dalam dua makna tersendiri. Inilah konsep dn yang menyeluruh dan utuh dengan dua arah yang berlawanan.

Artinya Bahwa Makna Din bahwa kebenaran dalam masalah ini adalah bahwa kedua makna tersebut digunakan pada waktu yang sama tanpa pemisahan keduanya ke dalam dua makna tersendiri. Inilah konsep dîn yang menyeluruh dan utuh dengan dua arah yang berlawanan.

Mari kita melihat sebuah contoh penggunaan kata dîn yang memiliki dua makna yang berbeda pada waktu yang sama, yang dapat kita sebutmakna dwi-tunggal. Contoh ini ditemukan pada ungkapan fî dîn fulân (dalam dîn seseorang), yang sangat lazim digunakan dalam syair pra-Islam. Kebanyakan penafsir terdahulu yang menggeluti bidang studi sastera klasik Arab tidak mampu menangkap makna dwi-tunggal kata dîn dalam ungkapan ini karena mereka melihat hanya satu sisi, yaitu sisi reseptif dengan makna KEPATUHAN. Bagi mereka, ungkapan fi din fulan (dalam din seseorang”) berartidalam kepatuhan kepada seseorang. Pemahaman ini tidak akurat. Perhatikan contoh tipikal berikut ini:

Jikalau engkau bertempat tinggal di [Lembah] Jaww di lingkungan Banu Asad/ dalam dîn Amr, dan meskipun Fadak memisahkan antara kita”

Dalam syair ini Amr yang dimaksud adalah raja terkenal Hirah, Amr ibn Hind ibn al-Mundzir Ma’ al-Sama. Ungkapan fî din  Amr dalam  konteks ini  berarti kamu menjadi tunduk kepada Amr dan dengan demikian dirimu berada di bawah perlindungan kekuasaannya. Jadi konsep dîn di sini mencakup kedua-duanya kepatuhan (thâah) dan kekuasaan (sulthân). Dengan kata lain, sesuatu yang sama dilihat dari dari dua sisi yang berlawanan.

Dilihat dari sisi Raja Amr, din adalah sulthan, WEWENANG atau KEKUASAAN PERLINDUNGAN”-nya, tetapi dilihat dari sisi orang yang berlindung untuk dirinya di bawah pengaruh kerajaan, dîn yang sama adalah thâah, kepatuhan kepada raja itu.

Di dalam al-Quran sebenarnya terdapat banyak kata dîn yang dapat ditafsirkan dengan cara ini. Salah satu contoh adalah kata dîn dalam ayat berikut:

Milik-Nyalah apa yang di langit dan di bumi, dan milik-Nyalah dîn itu selama-lamanya. (Q s. [16]: 52)

Kata DIN di dalam ayat di atas dipahami dalam MAKNA RANGKAP DUA ==>  KEPATUHAN MUTLAK dan KEKUASAAN MUTLAK Ayat ini adalah bagian yang sangat indah dalam Al-Quran yang melukiskan bagaimana segala sesuatu di langit dan bumi bersujud di hadapan Allah yang dengan demikian mengungkapkan kerendahan hati yang mendalam dan  kepatuhan  mutlak.  Dalam  surat  yang  sama,  yaitu  al-Nahl,  tiga  ayat  lain  yang mendahuluinya  berbunyi :

Kepada Allahlah  bersujud segala yang di langit  dan di bumi, termasuk  segala  sesuatu yang bergerak dan malaikat-malaikat, dan mereka tidak menyombongkan diri. Mereka takut kepada Tuhan mereka di atas mereka dan melaksanakan apa yang diperintahkan kepada mereka. Allah berfirman, Janganlah kamu menjadikan dua tuhan. Sesungguhnya Dia adalah Tuhan Yang Esa. Maka hendaklah kamu taku hanya kepada-Ku’. (Qs. [16]: 49-51)

Kembali kepada kata dîn dalam ayat di atas (Qs. [16]: 49-52)..kita dapat menafsirkannya sebagai kata yang mempunyai MAKNA DWI-TUNGGAL.

  • Dilihat dari sisi Allah, kata ini berarti “KEKUASAAN MUTLAK Allah karena Dia adalah pemilik dan penguasa segala sesuatu yang di langit dan di bumi;
  •  DAN dilihat dari sisi segala sesuatu yang di langit dan di bumi, kata yang sama berarti KEPATUHAN MUTLAK mereka kepada Allah.


Karena itu, ayat tadi, yang juka dipahami dengan cara ini, dapat ditertemahkan sebagai berikut:

Milik-Nyalah apapun yang di langit dan di bumi, dan milik-Nyalah kekuasaan mutlak [atas mereka] dan kepatuhan mutlak [oleh atau dari mereka] selama-lamanya. (Qs. [16]: 52)

Pada beberapa kesempatan Di dalam Al-Quran, kata DIN didefinisikan/ditafsirkan Atau di MAKNAI hubungan dengan ABADA [yaitu mengabdi Kepada ALLAH”], seperti seorang budak yang melayani tuannya. Dalam konteks ini, hubungan antara Allah dan hamba-Nya digambarkan seperti hubungan antara ALLAH DAN PENGABDI-NYA. Mari kita perhatikan ayat-ayat berikut:

Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu Kitab (al-Quran) dengan kebenaran. Maka ABDI-lah (FA’BUD) ALLAH dengan memurnikan DIN  kepada-Nya. Ingatlah, hanya milik ALLAH-lah dîn yang murni (AL-DIN AL-KHALISH). (Qs .[39]: 2-3)

Katakanlah: Sesungguhnya aku diperintahkan untuk MENGABDI (ABUDA) ALLAH dengan memurnikan DIN kepada-Nya. (Qs .[39]: 11)

Katakanlah: Hanya Allahlah yang aku sembah (abudu) dengan memurnikan dîn- ku (dînî) kepada-Nya. (Qs .[39]: 14)

Katakanlah: Hai manusia, jika kamu dalam keragu-raguan tentang dîn-ku (dînî), maka (ketahuilah) aku tidak MENGABDI (A’BUDU) orang-orang yang kamu ABDI (TA’BUDUNA) SELAIN DARI ALLAH, TETAPI AKU MENGABDI  (ABUDU) Allah. (Qs [10]: 104)

Katakanlah: Hai orang-orang kafir, aku tidak akan MENGABID  (A’BUDU) apa yang KAMU ABDI (TA’BUDUUNA). Dan KAMU BUKAN PENGABDI APA YANG AKU ABDI (ABUDU). Dan AKU TIDAK AKAN PERNAH MENJADI PENGABDI APA YANG KAMU ABDI (ABADTUM), dan KAMU TIDAK PERNAH (PULA) MENJADI PENGABDI APA YANG KAMU ABDI (A’BUDU). BAGIMU DIN-mu (DINUKUM) dan BAGIKU DIN-ku (DINI). (Qs. [109]: 1-6)


PENGGAMBUNGAN ‘ABADA DENGAN DIN dalam al-Quran, seperti terlihat pada ayat-ayat di atas, bukan tanpa tujuan. Penggabungan itu, kata Toshihiko Izutsu, dapat dipahami hanya atas anggapan bahwa terdapat hubungan batini yang mendalam antara dua konsep itu:
‘ABADA dengan DIN. Ayat-ayat itu hampir-hampir dapat digunakan sebagai definisi kata DIN yang menganjurkan bagaimana kata ini harus dipahami secara benar. Maka, dalam konteks ini kata DIN DAPAT DI TAFSIRKAN/DI MAKNAI   sebagai IBADAH (ibâdah) KEPADA ALLAH.

Ketika menafsirkan kata DIN dalam hubungannya dengan kata ‘ABADA, Para Penafsir Klasik pada umumnya memahami DIN sebagai “IBADAH KEPDA ALLAH dan “TAUHID (mengesakan Allah).
AYAT AL-QUR’AN
PENAFSIR KLASIK
Ibn Abbas
(Bermakna)
Thabari
(Bermakna)
Alusi
(Bermakna)
Al-Zumar ayat 2
Maka ABDI-lah (FA’BUD) ALLAH dengan memurnikan DIN kepada-NYA
“Memurnikan Ibadah dan Tauhid kepada- NYA
Berlaku khusyuklah kepada ALLAH, hai Muhammad, dengan kepatuhan murnikanlah ULUUHAH kepada-NYA; khususkanlah Dia dengan IBADAH; dan JANGANLAH kamu jadikan bagi-NYA sekutu dalam IBADAH-mu, SEBAGAIMANA dilakukan oleh para PENG-ABDI BERHALA.
seruan untuk memurnikan ibadah kepada Allah dengan mengkhususkan dîn kepada-Nya (dalam firman Allah, “Maka ABDI-lah (FA’BUD) ALLAH dengan MEMURNIKAN DIN kepada-NYA.
Dikukuhkan oleh peringatan untuk memurnikan dîn kepada-Nya (dalam firman-Nya, Ingatlah, hanya milik Allahlah dîn yang murni (al-dîn al-khâlish).
Al-Zumar ayat 11
MENGABDI (A’BUDA) ALLAH DENGAN MEMURNIKAN  DIN kepada-NYA
MENGABDI (A’BUDA) ALLAH dengan MEMURNIKAN Ibadah dan Tauhid kepada-NYA
Katakanlah: Hai Muhammad, kepada orang-orang musyrik, kaummu, Sesungguhnya Allah telah memeritahkan kepadaku agar aku MENGA-ABDI-NYA (ALLAH) dengan mengkhususkan kepatuhan kepada-NYA, selain setiap yang kamu ABDI selain DIA (ALLAH), termasuk RABUKUM dan ILAH-ILAH Tandingan
Nabi Muhammad saw diperintahkan untuk memberi penjelasan tentang apa yang DI PERINTAHKAN kepada dirinya untuk MEMURNIKAN IBADAH KEPADA ALLAH
Al-Zumar ayat 14
Katakanlah: Hanya ALLAH-lah yang AKU ABDI (abudu) dengan memurnikan DIN -KU (DINI) kepada-NYA
Hanya ALLAH-lah yang AKU ABDI dengan memurnikan) Ibadah dan Tauhid (kepada-NYA)
Katakanlah, hai Muhammad, kepada orang-orang musyrik, kaummu: Hanya ALLAH-lah yang AKU ABDI dengan MEMURNIKAN dan MENGKHUSUSKAN KEPATUHAN-Ku kepada-NYA dan ibadahku; aku tidak menjadikan sekutu bagi-NYA, tetapi mengkhususkan ULUHIAH kepada-NYA; dan aku membebaskan-Nya dari segala sesuatu selain-NYA, termasuk ILAH-ILAH TANDINGAN
mengatakan pula bahwa ungkapan dîn-mu” (dînukum) (Q 109: 6) bermakna penyekutuan (isyrâk) [Allah], dan ungkapan dîn-ku (dîni) (Q 109:6) bermakna pengesaan (tawhîd) [Allah]

Dari penjelasan-penjelasan TIGA PENAFSIR KLASIK itu ( Ibn Abbas, Thabari, dan Alusi) kita melihat bahwa kata DIN dalam hubungannya dengan kata ‘ABADA dipahami sebagai “IBADAH, “TAUHID, dan “KEPATUHAN.


Ibadah adalah bentuk atau jenis tauhid yang disebut TAUHID AL-ULUUHAH, TAUHID ULUHIYYAH. IBADAH KEPADA ALLAH DALAM ARTI YANG SEBENARNYA ADALAH TUNDUK PATUH DAN BERSERAH DIRI KEPADA ALLAH. Karena itu, ketiga konsep ini, yaitu IBADAH, TAUHID, dan ADALAH TUNDUK PATUH, adalah PENJELASAN DARI MAKNA DIN di dalam Al-Quran. TETAPI DALAM KONTEKS HUBUNGAN ANTARA KATA DIN DENGAN KATA ‘ABADA.

Kata DIN yang bermakna IBADAH dalam al-Quran diperkuat oleh penggabungan kata ini dengan kata daâ, yang berartiMENGABDI” (‘ABADA), pada beberapa ayat. Perhatikan tiga ayat berikut:

Al-'A`rāf [7] Ayat 29
Katakanlah: "Rabbku menyuruh menjalankan keadilan". Dan (katakanlah): "Luruskan muka (diri)mu di setiap SUJUD/TEMPAT SUJUD/ tempat peribadatan (Masjidin) dan ABDILAH (wa-d‘ûhu) ALLAH dengan dengan  MEMURNIKAN DIN KEPADA-NYA. Sebagaimana Dia menciptakan kalian pada permulaan, begitu pula kalian akan dikembalikan. (Qs.[7]: 29)


Ghāfir [40] Ayat 14
 Maka ABDILAH ALLAH (Fād`ū ALLAH) dengan MEMURNIKAN DIN KEPADA-NYA, meskipun orang-orang kafir tidak menyukai. (Qs. [40]: 14)

Ghāfir [40] Ayat 65
“Dialah Yang Hidup, tiada Ilah selain Dia; maka ABDILAH DIA (FA D’UHU) dengan memurnikan dîn kepada-NYA. Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam..(Qs. [40]:65)


Ibn Abbas mengatakan bahwa kata wa-d‘ûhu (Qs.[7]: 29) bermakna dan ABDI-lah Dia ( WA-‘BUDUHU), kata FA-D’U ALLAH (Qs. [40]: 14) bermakna maka ABDI-lah Allah(FA-‘BUDU ALLAH), dan kata FA-D’UHU (Qs. [40]: 65) bermakna “ESA-kanlah DIA (FA WAHAHADUHU).
Ada kesan bahwa penafsiran Ibn Abbas tentang kata DA’A dalam BENTUK KATA KERJA PERINTAH UD’U dalam tiga ayat di atas tidak konsisten. Pada dua ayat pertama kata ini diartikan sebagai “ABDI-LAH, tetapi pada ayat ketiga kata yang sama diartikan sebagaiESA-kanLah. ===> Sebenarnya tidak begitu sebab MENG-ESA-KAN ALLAHh adalah MENGA-ABDI, atau MENTAUHIDtermanifestasi dalam bentuk IBADAH. Bahwa TAUHID bermakna IBADAH terlihat pula tafsiran Ibn Abbas tentang ungkapan DENGAN MEMURNIKAN DIN Kepada-NYA sebagai lanjutan ungkapan FA-D’UHU pada ayat yang sama (Qs. [40]: 65) yang diartikannya DENGAN MEMURNIKAN IBADAH DAN TAUHID Kepada-NYA.

Di sini Ibn Abbas menggunakan dua kata “IBADAH dan “TAUHID” untuk MEMAKNAI KATA DIN yang menunjukkan bahwa bahwa IBADAH dan TAUHID tidak dapat dipisahkan dan saling menjelaskan.


MAKNA DIN KETIKA DI GAMBUNGKAN DENGAN KATA ISLAM

Mari kita beralih kepada makna DIN KETIKA DI GAMBUNGKAN DENGAN KATA ISLAM dalam al-Quran. Kita akan mengambil dua ayat yang mungkin paling sering dirujuk oleh banyak orang Muslim untuk mempertahankan bahwa satu-satunya agama (sebagai sebuah sistem) yang benar di mata Allah adalah Islam (sebagai sebuah sistem keagamaan yang diberi Nama Islam [dengan hurus besar]. Dua ayat itu adalah sebagai berikut:

Sesungguhnya DIN (HAQ/yang benar) di sisi Allah adalah ISLAM. (Qs [3]: 19)

Barang siapa yang mencari DIN SELAIN ISLAM, maka sekali-kali tidaklah akan diterima  (dîn itu) daripadanya, dan ia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (Qs. [3]: 85)

Menurut Thabari, kata DIN pada AYAT PERTAMA (Qs [3]: 19) BERMAKNAi “KEPATUHAN  (THA’AH) dan “KERENDAHAN (DZILLAH), dan kata ISLAM pada ayat yang sama berarti “KETUNDUKAN (INQIYAD), “KERENDAHAN” (TADZALLUL), dan “KHUSUK” (KHUSYU).
 Ketika menakwilkan firman Allah pada ayat ini,

Sesungguhnya DIN (HAQ/yang benar) di sisi Allah adalah ISLAM. (Qs [3]: 19)

Ia (Thabari) mengatakan bahwa ayat bermakna: Sesunggunhnya kepatuhan yang adalah satu-satunya kepatuhan di sisi-Nya adalah kepatuhan kepada-Nya, pengikraran lidah dan kalbu bagi-Nya dengan penghambaan dan kerendahan, dan ketundukan lisan dan kalbu kepada-Nya dengan kepatuhan tentang apa yang disuruh dan dilarang, kerendahan lisan dan kalbu kepada dengan itu tanpa menyombongkan diri kepada-Nya, tanpa berpaling dari-Nya, dan tanpa menyekutukan segala sesuatu selain Dia dengan Dia dalam kehambaan dan ULUHIYAH.

Thabari tidak menjadi secara khusus kata dîn (dan juga kata islâm) pada ayat yang kedua (Qs. [3]: 85) barangkali karena sudah dijelaskan pada ayat sebelumnya. Ini berarti bahwa makna kedua kata ini sama dengan makna yang telah dijelasjkannya.

Sebenarnya lima kata yang disebut di sini ini, yaitu dîn, thâah, dzillah, tadzallul, islâm, inqid, dan khusyûmempunyai makna asal yang berdekatan yang sulit dibedakan dan dalam konteks-konteks tertentu yang satu menjadi sinonim bagi yang lain.

Lalu, timbul sebuah pertanyaan: apakah kata dîn dalam arti sebagai sebuah sistem, yang mengandung hukum, undang-undang, peraturan, atau ajaran-ajaran yang diturunkan oleh Allah, ditemukan dalam al-Quran? Atau, apakah kata dîn yang berarti jalan hidup yang harus ditempuh oleh manusia untuk mencapai tujuan akhir hidupnya ditemukan dalam al-Quran?

Menurut Ibn Arabi [ Sufi dari Andalusia yang digelari Syaikh Terbesar (al-Syaykh al-Akbar) MEMBAGI DIN yang terdiri dari DUA JENIS:

1.      DIN yang datang dari Allah (DINUL HAQ)
DIN yang datang dari Allah adalah DIN yang dipilih oleh Allah dan diberi-Nya kedudukan yang lebih tinggi daripada DIN ciptaan. ALLAH BERFIRMAN

Al-Baqarah [2] Ayat 132

Wa Waşşá Bihā 'Ibrāhīmu Banīhi Wa Ya`qūbu Yā Banīya 'Inna Al-Laha Aşţafá Lakumu AL-DINA Falā Tamūtunna 'Illā Wa 'Antum Muslimūna

[[Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya'kub. (Ibrahim berkata): "Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih DIN Ini  bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan ISLAM ". (QS. 2:132)]]

Yang berarti sebagai orang-orang tunduk” (munqâdûn) kepada-Nya. n (yang ditulis: al-dîn), dengan al-alif dan al-lâm (kata sandang), yaitu sebuah dîn yang diketahui dan dikenal.

Al-Imran [3] Ayat 19
'Inna AD-DINA `Inda Al-Lahi Al-'Islāmu..dst
[[Sesungguhnya AD-DIN (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah ISLAM..dst]]

Dîn dalam ayat ini adalah KETUNDUKAN (INQIYAD). Yang datang dari Allah adalah : SYAR (HUKUM) yang kepadanya anda tunduk (atau yang anda patuhi).

Maka DIN adalah KETUNDUKAN, KEPATUHAN DAN SYAR (HUKUM/WAJIB) yang di SYARIAT-kan oleh ALLAH. Barangsiapa yang bersifat dengan ketundukan kepada apa yang disyariatkan oleh Allah untuknya telah melaksanakan dan mendirikannya DIN, yaitu MEMBANGUNNYA SEBAGAIMANA MENDIRIKAN SHALLAT.

HAMBA (MANUSIA) adalah PEMBANGUN (MUNSYI’) DIN, sedangkan ALLAH adalah PELETAK (WADHI) HUKUM-HUKUM. Maka ketundukan adalah perbuatan anda sendiri, dan demikian juga dîn adalah perbuatan anda.

Di sini kita melihat bahwa DIN YANG DATANG DARI ALLAH ADALAH HUKUM, SYARIAT ATAU PERATURAN yang DILETAKAN OLEH ALLAH UNTUK DI PATUHI MANUSIA

KONSEP INI ADALAH DIN SEBAGAI SISTEM IDEAL, yaitu DIN YANG DI WASYIATKAN KEPADA IBRAHIM KEPADA ANAK-ANAKNYA, yaitu DIN YANG DIPILIH OLEH ALLAH UNTUK MEREKA seperti disebutkan dalam al-Quran tentang wasiat Ibrahim kepada anak-anaknya (Q 2: 132).

n dalam arti ideal ini adalah satu dan sama karena datang dari Tuhan yang satu, tetapi ia memanifestasikan dirinya dalam banyak bentuk sesuai dengan budaya umat yang ditujunya. Tetapi dîn yang datang dari Allah tidak akan berarti apa-apa jika tidak dipatuhi oleh manusia.

2.     DIN yang datang dari ciptaan.
n yang datang dari Allah itu tidak mungkin dipatuhi tanpa dipahami atau ditafsirkan oleh manusia. Pemahaman atau penafsiran manusia tentang dîn itu adalah perbuatan manusia, ciptaan manusia.

Din yang datang dari manusia adalah ketundukan atau kepatuhan yang dilakukannya. n dalam arti ini bukanlah sistem tetapi adalah dîn personal, kualitas personal, kualitas pribadi, yang tentu saja bersifat individual, bukan kolektif.
Aktivitas manusia yang selalu mengalami proses yang tidak pernah berhenti. Dîn dipahami dengan berbagai tafsir, yang pada gilirannya melahirkan banyak aliran, mazhab, dan sekte keagamaan.

Al Baqarah Ayat 213
Manusia itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan.. dst. (QS. 2:213)

Kita kembali kepada kepada pertanyaan di atas: apakah kata DIN dalam arti sebagai SEBUAH SISTEM, yang mengandung HUKUM, UNDANG-UNDANG, PERATURAN, ATATU AJARAN-AJARAN YANG TURUNKAN OLEH ALLAHh, ditemukan dalam al-Quran? Atau, apakah kata DIN yang berarti jalan hidup yang harus ditempuh oleh manusia untuk mencapai tujuan akhir hidupnya” ditemukan dalam al-Quran? Jawabnya adalah positif.


DIN yang diwasiatkan Ibrahim kepada anak-anaknya, yaitu dîn yang dipilih oleh Allah untuk mereka seperti disebutkan dalam al-Quran (Qs. [2]: 132) adalah dîn sebagai sistem.

Kata DIN dalam arti sebagai sistem atau institusi dalam al-Quran ditemukan pula pada dua contoh berikut:

“Dan janganlah kamu percaya kecuali kepada orang-orang yang mengikuti dîn-mu(dînukum) (Q 3: 73)
Hari ini telah Ku-sempurnakan untukmu dîn-mu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai untukmu islâm sebagai dîn. (Q 5:3)
------------------------

BAB III : MILAH

Kita tidak boleh melupakan sebuah kata millah, sebuah kata Arab yang biasanya, sebagaimana kata dîn, diterjemahkan dengan kata “agama dalam bahasa Indonesia (“religion dalam bahasa Inggris).
Kata MILAH SINONIM DARI KATA DIN, yang berarti sebagai SISTEM ATAU INSTITUSI.
Millah adalah dîn sebagai sistem atau institusi, Ajaran yang terlembaga” (institutionalized religion), “AJARAN/KEPERCAYAAN/PANDANGAN HIDUP/TUJUAN HIDUP/TUJUAN AKHIR dll yang terkonkritkan (reified religion), yang terformalkan (formalized religion).
 ------------------------

BAB IV : DIN DAN MILLAH

sebagai kualitas personal atau dîn yang sepenuhnya atau perbuatan eksistensial tereifikasi proses reifikasi
Persoalan ini semakin jelas ketika kita membandingkan firman Allah yang telah disebutkan di atas (Q 3: 73) dengan firman Allah berikut (Qs. [2]: 120), yang merujuk pada situasi yang sebenarnya sama dengan menggunakan kata MILAH BERSINONIM denga DIN.

Wa Lan Tarđá `Anka Al-Yahūdu Wa Lā An-Naşārá Ĥattá Tattabi`aMillatahumۗ Qul 'Inna Hudá Al-Lahi Huwa Al-Hudá ۗ Wa La'ini Attaba`ta 'Ahwā'ahum Ba`da Al-Ladhī Jā'akaMina Al-`Ilmi ۙ Mā Laka Mina Al-Lahi Min Wa Līyin Wa Lā Naşīrin

[[Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidakakan senang kepada kamu sehingga kamu mengikuti MILAH. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang sebenarnya)". Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.(QS. 2:120)


Ada sebuah ayat al-Quran secara tegas menyinonimkan dîn dengan millah, dan sekaligus juga dengan shirâth mustaqîm. Ayat itu adalah sebagai berikut:

Qul 'InnanīHadānī Rabbī 'Ilá ŞirāţinMustaqīmin Dīnāan Qiyamāan Millata 'Ibrāhīma Ĥanīfāan ۚ Wa Mā Kāna Mina Al-Mushrikīna
Katakanlah: "Sesungguhnya aku telah ditunjuki oleh Rabbku kepada jalan yang lurus, (yaitu) DIN yang benar (DIN QAYYIM); MILAH Ibrahim yang lurus; dan Ibrahim itu bukanlah termasuk orang-orang yang musyrik". (QS. 6:161)


Di dalam kutipan ayat terakir ini kita melahat bahwa al-Quran menyamakan makna tiga konsep ini: shirâth mustaqîm (jalan yang lurus), dîn qayyim (agama yang benar), dan millah (agama) Ibrahim. Dalam konteks tertentu, kata dîn bermakna asal, yaitu kepatuhan” atau ketundukan. n dalam arti asal ini tetap berbeda dengan millah. Contohnya adalah kata dîndalam ayat berikut, yang telah disebut di atas:

Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu Kitab (al-Quran) dengan kebenaran. Maka sembahlah (fabud) Allah dengan memurnikan dîn kepada-Nya. Ingatlah, hanya milik Allahlah dîn yang murni (al-dîn al-khâlish).(Q 39: 2-3)

Mari kita kembali memperhatikan pandangan Ibn Abbas, Thabari, dan Alusi tentang MAKNA KATA DIN yang telah dikutip di atas.

Ibn Abbas mengatakan bahwa ungkapan “MEMURNIKAN DIN KEPADA-NYA (ALLAH) adalah “MEMRNIKAN IBADAH DAN TAUHID KEPADA-NYA (ALLAH). Dalam ayat TERSEBUT (Al-Zumar ayat 2, Al-Zumar ayat 11 Al-Zumar ayat 14), menurutnya, DIN BERMAKNA IBADAH DAN TAUHID, yang juga mengandung arti KEPATUHAB.
 
Thabari mengatakan bahwa “MEMURNIKAN DIN KEPADA-NYA (ALLAH) dalam ayat ini (Al-Zumar ayat 2, Al-Zumar ayat 11 Al-Zumar ayat 14) berarti “MEMURNIKAN KEPATUHAN, ULUHYYAH, ibadah kepada ALLAH.
Alusi mengatakan bahwa “MEMURNIKAN DIN KEPADA-NYA (ALLAH) dalam ayat yang sama berarti “MERNIKAN IBADAH KEPADA ALLAH.


Wa Allâh a‘lam bi al-shawâb.

0 komentar "MAKNA DIN DAN MILAH DALAM AL-QUR’AN", Baca atau Masukkan Komentar

Posting Komentar