Kajian-kajian
untuk memahami makna semantik dan etimologis kata DIN dalam al-Quran telah
dilakukan berulang-kali oleh beberapa sarjana. Kajian-kajian yang dilakukan
oleh para sarjana non-Muslim, pada umumnya, tidak hanya mencari makna kata dn
tetapi juga menelusuri asal-usul kata ini dan pergeseran maknanya dalam sejarah
penggunaannya. Kajian-kajian itu telah melahirkan teori-teori tentang asal-usul
kata ini: kata ini berasal dari kata Ibrani, Etiopia, Aramia, Suryani, atau
Persia. Penelusuran asal-usul kata ini merupakan sebuah masalah yang sangat
komleks dan rumit. Teori bahwa kata ini berasal dari kata asing (non-Arab)
tidaklah mustahil, tetapi teori ini tidak akan banyak membantu mempermudah
pemahaman kita tentang makna kata ini dalam al-Quran.
Karena
itu, pembicaraan tentang masalah ini lebih baik ditinggalkan. Lebih tepat kita
membicarakan makna kata ini dalam batas-batas bahasa Arab itu sendiri. Dengan
cara ini, kata Toshihiko Izutsu, seorang sarjana Jepang dalam bidang
Studi-studi Keislaman, bukanlah kita menyatakan secara tidak langsung bahwa
mesti ada satu makna asal yang terikat pada akar kata D-Y-N yang melahirkan
berbagai makna. Ini sungguh mustahil menurut ilmu bahasa. Dalam kasus seperti
ini, seorang ahli bahasa modern menganggap dari pemulaan adanya lebih dari satu
akar independen di bawah satu bentuk yang umum. Gejala ini adalah satu gejala
yang sangat umum dari polisemi murni.
BAB I : PENDAHULUAN
Para
sarjana telah membuktikan bahwa dalam kesusasteraan Arab pra-Islam telah ada
kata dn, yang memiliki tiga arti yang dominan:
(1)
adat atau kebiasaan,
(2)
balasan, dan
(3)
kepatuhan.
-------------------------------
BAB II : DIN DARI
KHAZANAH ISLAM
CHAPTER I
Kedatangan
Islam memperkaya arti kata ini dengan tetap mempertahankan arti-arti asal
pra-Islam itu. Jika kita membuka kamus-kamus bahasa Arab yang disusun sejak
masa dulu sampai masa kini, kita akan menemukan bahwa kata din memiliki banyak
arti, yaitu:
(1)
pembalasan, (2) perhitungan, (3) keputusan, (4) kepatuhan,
(5)
ketundukan, (6) sikap berserah diri (islm), (7) kerendahan, (8) warak,
(9)
adat atau kebiasaan, (10) keadaan, (11) tingkah laku, (12) kekuasaan,
(13)
pemaksaan, (14) cara atau jalan, (15) peraturan, (16) hukum,
(17)
syariah, (18) akidah, dan (19) agama (millah).
CHAPTER II :
Mari
kita membicarakan MAKNA DIN DALAM AL-QURAN. Kata dn muncul 94 kali dalam
al-Quran, sekitar separuhnya muncul pada periode Makkah dan separuhnya mucul
pada periode Madinah. MenurutYvonne Haddad,
seorang pengkaji Islam, ada empat periode yang berbeda dari pemakaian istilah
dn dalam al-Quran:
- Periode Makkah pertama (dengan munculnya kata dn 13 kali)
- Periode Makkah kedua (dengan munculnya kata dn 6 kali),
- Periode Makkah ketiga (dengan munculnya kata dn 29 kali),
- dan periode Madinah (dengan munculnya kata dn 46 kali)
DIN BERMAKNA PEMBALASAN, PERHITUNGAN
DAN PENGADILAN
Salah-satu
MAKNA ASAL DIN dalam Al-Quran adalah PEMBALASAN, yang biasanya diartikan juga
dengan PERHITUNGAN/PENGADILAN. Perhatikan beberapa contoh berikut:
Raja hari pembalasan. (Q 1: 3)
Dan mereka berkata: Aduhai, celakalah
kita, inilah hari pembalasan. (Q 37: 20)
Bukan hanya durhaka saja, bahkan kamu
mendustakan hari pembalasan. (Q 82: 9)
Makna
PEMBALASAN, PERHITUNGAN DAN PENGADILAN adalah SANGAT PENTING dalam pandangan
dunia Al-Quran. Makna ini TERMASUK WILAYAH EKSATOLOG Yang mupakan bagian yang
TIDAK DAPAT DIPISAHKAN DARI RUKUN IMAN Yaitu IMAN KEPADA HARI AKHIR. Namun,
kita harus meninggalkan pembahasan makna ini karena karena tempatnya yang tepat
adalah dalam wilayah eskatologi. Makna ini tidak memiliki relevansi langsung
dengan topik kita di sini. Makna asal dn yang memiliki kaitan langsung dengan
topik ini adalah makna asal lain.
Makna
asal lain itu dari DIN adalah KEPATUHAN. Pemahaman DIN dengan makna KEPATUHAN,
jika dilihat secara ketat, tidak sepenuhnya tepat karena kepatuhan menampilkan
hanya satu aspek kandungan makna kata ini. Aspek lain, yaitu aspek yang
berlawanan dengan kepatuhan, tidak bisa diabaikan.
Kata
DIN [atau kata kerja DAANA] termasuk kelompok
kata-kata yang dikenal sebagai ADHADAAD, yaitu
kata-kata yang memiliki dua makna yang berrbeda. Maka kata dn mempunyai dua
sisi yang berlawanan Yaitu : SISI AKTIF DAN SISI RESEPTIF.
- SISI AKTIF, kata DIN berarti MENUNDUDAKAN, MENAKLUKAN, MENEKAN, MEMAKSA, MENGUASAI, MENGENDALIKAN (PENUNDUKAN, PENAKLUKAN, PENEKANAN, PEMAKSAAN, PENGUASAAN, PENGENDALIAN).
- SISI RESEPTIF, kata DIN berarti PATUH, TAAT, TAKLUK, PASRAH, MENYERAH (KEPATUHAN, KETAATAN, KETAKLUKAN, KEPASRAHAN, PENYERAHAN).
Tentang
dua makna, atau dua kelompok makna, yang berlawanan ini, Toshihiko Izutsu, mengatakan bahwa bahwa tidak ada
sesuatu yang mengagetkan tentang masalah ini. Sebagaimana banyak kata-kata lain
dari kategori ini, perspektif khusus yang terbentuk pada kata ini menunjukkan
suatu pandangan lengkap dan menyeluruh tentang masalah ini yang memungkinkan
kita memandang sesuatu yang sama dari dua ujung.
Dengan
Kata-Lain Bahwa kata DIN DAPAT DIPAHAMI SEBAGAI DUA MAKNA BERLAWANAN PADA WAKTU
YANG SAMA seperti :
- PENUNDUKAN dan KETUNDUKAN
- PENAKLUKAN dan KETAKLUKAN
- PEMAKSAAN dan KEPASRAHAN
- PENAKLUKAN dan KEPATUHAN
Artinya
Bahwa Makna DIN bahwa kebenaran dalam masalah ini adalah bahwa kedua makna
tersebut digunakan pada waktu yang sama tanpa pemisahan keduanya ke dalam dua
makna tersendiri. Inilah konsep dn yang menyeluruh dan utuh dengan dua arah
yang berlawanan.
Artinya Bahwa Makna Din bahwa kebenaran dalam
masalah ini adalah bahwa kedua makna tersebut digunakan pada waktu yang sama tanpa
pemisahan keduanya ke dalam dua makna tersendiri. Inilah konsep dîn yang menyeluruh dan utuh dengan dua arah yang berlawanan.
Mari
kita melihat sebuah contoh
penggunaan kata dîn yang
memiliki dua makna yang berbeda pada waktu yang sama, yang dapat kita
sebut “makna dwi-tunggal.” Contoh
ini ditemukan pada
ungkapan fî dîn fulân (“dalam dîn seseorang”), yang sangat lazim
digunakan dalam
syair pra-Islam. Kebanyakan penafsir terdahulu yang menggeluti bidang studi sastera klasik Arab tidak mampu menangkap “makna dwi-tunggal” kata dîn dalam ungkapan ini karena mereka melihat hanya satu sisi, yaitu sisi reseptif
dengan makna “KEPATUHAN.” Bagi mereka, ungkapan fi din fulan (“dalam din seseorang”) berarti “dalam
kepatuhan kepada seseorang.”
Pemahaman ini
tidak akurat. Perhatikan contoh tipikal berikut ini:
“Jikalau engkau bertempat tinggal di [Lembah] Jaww di lingkungan Banu Asad/ dalam dîn ‘Amr, dan meskipun Fadak memisahkan antara kita”
Dalam syair ini ‘Amr yang dimaksud adalah raja terkenal Hirah, ‘Amr ibn Hind ibn al-Mundzir
Ma’ al-Sama’.
Ungkapan fî din ‘Amr dalam konteks ini
berarti “kamu menjadi tunduk kepada ‘Amr dan dengan demikian dirimu berada di bawah
perlindungan kekuasaannya.” Jadi konsep dîn di sini mencakup kedua-duanya “kepatuhan” (thâ‘ah) dan “kekuasaan” (sulthân). Dengan kata lain, sesuatu yang sama dilihat dari
dari
dua sisi yang berlawanan.
Dilihat dari sisi Raja ‘Amr, din adalah sulthan, “WEWENANG” atau “KEKUASAAN
PERLINDUNGAN”-nya, tetapi dilihat dari sisi orang yang berlindung untuk
dirinya di bawah
pengaruh kerajaan, dîn yang sama adalah thâ‘ah, “kepatuhan” kepada raja itu.
Di dalam
al-Qur’an sebenarnya terdapat banyak kata dîn yang dapat ditafsirkan dengan cara ini. Salah satu contoh adalah
kata dîn dalam ayat berikut:
“Milik-Nyalah apa yang di langit dan di bumi, dan milik-Nyalah dîn itu selama-lamanya.” (Q s. [16]: 52)
Kata DIN di dalam ayat di atas dipahami dalam MAKNA RANGKAP DUA ==> “KEPATUHAN MUTLAK”
dan “KEKUASAAN MUTLAK” Ayat ini adalah bagian yang sangat indah dalam Al-Qur’an yang melukiskan bagaimana segala sesuatu di langit dan bumi “bersujud di hadapan Allah” yang dengan demikian
mengungkapkan
kerendahan
hati
yang mendalam dan
kepatuhan
mutlak. Dalam
surat
yang sama, yaitu
al-Nahl,
tiga
ayat lain yang
mendahuluinya berbunyi :
“Kepada Allahlah
bersujud segala yang di
langit
dan di
bumi,
termasuk
segala sesuatu
yang bergerak dan
malaikat-malaikat, dan mereka tidak menyombongkan diri. Mereka takut kepada Tuhan mereka di atas mereka dan melaksanakan apa yang diperintahkan kepada mereka. Allah berfirman, ‘Janganlah kamu menjadikan dua tuhan. Sesungguhnya
Dia
adalah Tuhan Yang Esa. Maka
hendaklah kamu taku hanya kepada-Ku’.” (Qs. [16]: 49-51)
Kembali kepada kata dîn dalam
ayat di atas (Qs. [16]: 49-52)..kita dapat menafsirkannya sebagai kata yang mempunyai “MAKNA DWI-TUNGGAL.”
- Dilihat dari sisi Allah, kata ini berarti “KEKUASAAN MUTLAK” Allah karena Dia adalah pemilik dan penguasa segala sesuatu yang di langit dan di bumi;
- DAN dilihat dari sisi segala sesuatu yang di langit dan di bumi, kata yang sama berarti “KEPATUHAN MUTLAK” mereka kepada Allah.
Karena itu, ayat tadi, yang juka dipahami dengan cara ini, dapat ditertemahkan sebagai berikut:
“Milik-Nyalah apapun yang di langit dan di bumi,
dan
milik-Nyalah kekuasaan mutlak [atas mereka] dan kepatuhan mutlak
[oleh atau dari mereka] selama-lamanya.” (Qs. [16]: 52)
Pada beberapa kesempatan Di dalam
Al-Qur’an, kata DIN didefinisikan/ditafsirkan
Atau di MAKNAI hubungan dengan ‘ABADA [yaitu “mengabdi Kepada
ALLAH”], seperti seorang budak
yang melayani tuannya.” Dalam konteks ini, hubungan antara Allah dan hamba-Nya digambarkan seperti
hubungan antara ALLAH DAN PENGABDI-NYA. Mari
kita perhatikan
ayat-ayat berikut:
“Sesungguhnya Kami telah
menurunkan kepadamu Kitab (al-Qur’an) dengan kebenaran. Maka ABDI-lah (FA’BUD) ALLAH dengan
memurnikan DIN kepada-Nya.
Ingatlah, hanya milik ALLAH-lah dîn yang murni (AL-DIN AL-KHALISH).” (Qs .[39]: 2-3)
“Katakanlah: Sesungguhnya aku diperintahkan untuk MENGABDI (A‘BUDA) ALLAH dengan
memurnikan DIN kepada-Nya.” (Qs .[39]: 11)
“Katakanlah: Hanya Allahlah yang aku sembah (a‘budu) dengan memurnikan dîn- ku (dînî) kepada-Nya.” (Qs .[39]: 14)
“Katakanlah: Hai manusia, jika kamu dalam
keragu-raguan tentang dîn-ku (dînî), maka (ketahuilah) aku tidak MENGABDI (A’BUDU) orang-orang yang
kamu ABDI (TA’BUDUNA) SELAIN DARI ALLAH, TETAPI AKU MENGABDI (A‘BUDU) Allah.” (Qs [10]: 104)
“Katakanlah: Hai orang-orang kafir, aku tidak akan
MENGABID (A’BUDU) apa yang KAMU ABDI (TA’BUDUUNA). Dan KAMU BUKAN PENGABDI APA YANG AKU ABDI (A‘BUDU). Dan AKU TIDAK AKAN PERNAH MENJADI PENGABDI APA YANG KAMU ABDI
(‘ABADTUM),
dan KAMU TIDAK PERNAH (PULA) MENJADI
PENGABDI APA YANG KAMU ABDI (A’BUDU). BAGIMU DIN-mu (DINUKUM) dan BAGIKU DIN-ku (DINI).” (Qs. [109]: 1-6)
PENGGAMBUNGAN ‘ABADA DENGAN DIN dalam al-Qur’an, seperti terlihat pada ayat-ayat di atas, bukan tanpa tujuan. Penggabungan itu, kata
Toshihiko Izutsu, dapat dipahami hanya atas anggapan bahwa terdapat hubungan batini yang mendalam antara dua konsep itu:
‘ABADA dengan DIN. Ayat-ayat itu hampir-hampir dapat digunakan sebagai definisi kata DIN yang
menganjurkan bagaimana kata ini
harus dipahami secara benar. Maka, dalam konteks ini kata DIN DAPAT DI TAFSIRKAN/DI MAKNAI sebagai “ IBADAH (‘ibâdah)
KEPADA ALLAH.”
Ketika menafsirkan kata DIN dalam hubungannya dengan kata ‘ABADA, Para Penafsir Klasik pada umumnya memahami DIN sebagai “IBADAH
KEPDA ALLAH” dan “TAUHID
(mengesakan Allah).”
AYAT AL-QUR’AN
|
PENAFSIR KLASIK
|
||
Ibn ‘Abbas
(Bermakna)
|
Thabari
(Bermakna)
|
Alusi
(Bermakna)
|
|
Al-Zumar ayat 2
“Maka ABDI-lah (FA’BUD) ALLAH dengan memurnikan
DIN kepada-NYA”
|
“Memurnikan Ibadah dan Tauhid kepada- NYA”
|
“Berlaku khusyuklah kepada
ALLAH, hai Muhammad, dengan kepatuhan murnikanlah ULUUHAH
kepada-NYA; khususkanlah Dia dengan
IBADAH; dan JANGANLAH kamu jadikan bagi-NYA sekutu dalam IBADAH-mu,
SEBAGAIMANA dilakukan oleh para
PENG-ABDI BERHALA.”
|
seruan untuk memurnikan ibadah kepada Allah dengan mengkhususkan dîn kepada-Nya (dalam firman Allah,
“Maka ABDI-lah (FA’BUD) ALLAH dengan
MEMURNIKAN DIN kepada-NYA.”
Dikukuhkan oleh peringatan untuk
memurnikan dîn kepada-Nya (dalam firman-Nya, “Ingatlah, hanya
milik Allahlah dîn yang murni (al-dîn al-khâlish).
|
Al-Zumar ayat 11
MENGABDI (A’BUDA) ALLAH DENGAN MEMURNIKAN DIN kepada-NYA
|
MENGABDI
(A’BUDA) ALLAH dengan
MEMURNIKAN Ibadah dan Tauhid kepada-NYA
|
“Katakanlah: Hai Muhammad, kepada orang-orang musyrik, kaummu, Sesungguhnya Allah telah memeritahkan kepadaku agar aku MENGA-ABDI-NYA
(ALLAH) dengan
mengkhususkan kepatuhan kepada-NYA, selain setiap yang kamu ABDI selain DIA
(ALLAH), termasuk
RABUKUM dan ILAH-ILAH Tandingan”
|
Nabi Muhammad saw diperintahkan untuk memberi penjelasan tentang apa yang DI PERINTAHKAN kepada dirinya untuk
MEMURNIKAN IBADAH KEPADA ALLAH
|
Al-Zumar ayat 14
Katakanlah: Hanya ALLAH-lah yang
AKU ABDI (a‘budu) dengan memurnikan DIN
-KU (DINI) kepada-NYA
|
Hanya ALLAH-lah
yang AKU ABDI dengan memurnikan) Ibadah
dan Tauhid (kepada-NYA)
|
Katakanlah, hai Muhammad, kepada orang-orang musyrik,
kaummu: Hanya ALLAH-lah yang AKU
ABDI dengan MEMURNIKAN dan MENGKHUSUSKAN
KEPATUHAN-Ku kepada-NYA dan ibadahku; aku
tidak menjadikan sekutu bagi-NYA, tetapi mengkhususkan
ULUHIAH kepada-NYA; dan aku membebaskan-Nya dari segala
sesuatu selain-NYA, termasuk ILAH-ILAH TANDINGAN
|
mengatakan pula bahwa ungkapan “dîn-mu”
(dînukum) (Q 109: 6) bermakna penyekutuan (isyrâk) [Allah], dan
ungkapan “dîn-ku” (dîni) (Q
109:6) bermakna pengesaan (tawhîd) [Allah]
|
Dari penjelasan-penjelasan TIGA PENAFSIR
KLASIK itu ( Ibn ‘Abbas, Thabari, dan Alusi) kita melihat bahwa kata DIN dalam hubungannya
dengan kata ‘ABADA dipahami sebagai “IBADAH,” “TAUHID,” dan
“KEPATUHAN.”
Ibadah adalah bentuk
atau jenis tauhid yang disebut TAUHID AL-ULUUHAH, TAUHID ULUHIYYAH. IBADAH KEPADA ALLAH DALAM ARTI YANG
SEBENARNYA ADALAH TUNDUK PATUH DAN
BERSERAH DIRI KEPADA ALLAH. Karena itu, ketiga konsep ini, yaitu IBADAH, TAUHID, dan ADALAH TUNDUK PATUH, adalah
PENJELASAN DARI MAKNA DIN di dalam Al-Qur’an. TETAPI DALAM KONTEKS HUBUNGAN ANTARA
KATA DIN DENGAN KATA ‘ABADA.
Kata DIN yang bermakna “IBADAH” dalam
al-Qur’an diperkuat oleh penggabungan kata ini dengan kata da‘â, yang berarti “MENGABDI” (‘‘ABADA), pada beberapa ayat. Perhatikan tiga ayat berikut:
Al-'A`rāf [7] Ayat 29
Katakanlah: "Rabbku menyuruh menjalankan
keadilan". Dan (katakanlah): "Luruskan muka (diri)mu di setiap
SUJUD/TEMPAT SUJUD/ tempat peribadatan (Masjidin) dan ABDILAH (wa-d‘ûhu) ALLAH
dengan dengan MEMURNIKAN DIN KEPADA-NYA. Sebagaimana Dia menciptakan kalian pada permulaan, begitu pula kalian akan dikembalikan.” (Qs.[7]: 29)
Ghāfir [40] Ayat 14
“Maka ABDILAH
ALLAH (Fād`ū ALLAH) dengan MEMURNIKAN
DIN KEPADA-NYA, meskipun
orang-orang kafir tidak menyukai.” (Qs. [40]: 14)
Ghāfir [40] Ayat 65
“Dialah Yang Hidup, tiada Ilah
selain Dia; maka ABDILAH DIA (FA D’UHU) dengan memurnikan
dîn kepada-NYA. Segala puji bagi
Allah Rabb semesta alam..” (Qs. [40]:65)
Ibn ‘Abbas mengatakan bahwa kata wa-d‘ûhu (Qs.[7]: 29) bermakna “dan ABDI-lah Dia” ( WA-‘BUDUHU), kata FA-D’U ALLAH (Qs. [40]: 14) bermakna “maka ABDI-lah Allah”
(FA-‘BUDU ALLAH), dan kata FA-D’UHU (Qs. [40]: 65) bermakna “ESA-kanlah DIA” (FA WAHAHADUHU).
Ada kesan bahwa penafsiran Ibn ‘Abbas tentang kata DA’A dalam BENTUK KATA KERJA PERINTAH UD’U dalam tiga ayat di atas tidak konsisten.
Pada dua ayat pertama kata ini diartikan sebagai “ABDI-LAH,” tetapi pada ayat ketiga kata yang sama diartikan sebagai
“ESA-kanLah.” ===> Sebenarnya tidak begitu sebab “MENG-ESA-KAN
ALLAHh” adalah “MENGA-ABDI,” atau “MENTAUHID” termanifestasi dalam bentuk “IBADAH.” Bahwa “TAUHID” bermakna “IBADAH” terlihat pula tafsiran
Ibn ‘Abbas tentang ungkapan “DENGAN MEMURNIKAN
DIN Kepada-NYA” sebagai lanjutan ungkapan FA-D’UHU pada ayat yang sama (Qs. [40]: 65) yang
diartikannya “DENGAN MEMURNIKAN IBADAH DAN TAUHID Kepada-NYA.”
Di sini Ibn ‘Abbas menggunakan dua kata “IBADAH” dan “TAUHID”
untuk
MEMAKNAI KATA DIN yang menunjukkan bahwa bahwa IBADAH
dan TAUHID tidak dapat dipisahkan dan saling menjelaskan.
MAKNA DIN KETIKA DI GAMBUNGKAN
DENGAN KATA ISLAM
Mari
kita beralih kepada makna DIN KETIKA DI GAMBUNGKAN DENGAN KATA ISLAM dalam al-Qur’an. Kita akan
mengambil dua
ayat yang mungkin paling sering dirujuk oleh banyak orang Muslim untuk mempertahankan bahwa satu-satunya
agama (sebagai sebuah sistem) yang benar di mata Allah adalah
Islam (sebagai sebuah sistem
keagamaan yang diberi Nama “Islam” [dengan hurus
besar]. Dua ayat itu adalah sebagai berikut:
“Sesungguhnya DIN (HAQ/yang benar) di sisi Allah adalah
ISLAM.” (Qs [3]: 19)
“Barang siapa yang mencari DIN SELAIN ISLAM, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (dîn itu) daripadanya, dan ia di akhirat termasuk orang-orang yang
rugi.” (Qs. [3]: 85)
Menurut Thabari, kata DIN pada AYAT PERTAMA (Qs [3]: 19) BERMAKNAi “KEPATUHAN (THA’AH) dan “KERENDAHAN” (DZILLAH), dan kata ISLAM pada ayat yang sama berarti “KETUNDUKAN” (INQIYAD), “KERENDAHAN”
(TADZALLUL), dan “KHUSUK” (KHUSYU).
Ketika menakwilkan firman Allah pada ayat ini,
“Sesungguhnya DIN (HAQ/yang benar) di sisi Allah adalah
ISLAM.” (Qs [3]: 19)
Ia (Thabari) mengatakan bahwa ayat bermakna: “Sesunggunhnya kepatuhan yang adalah satu-satunya kepatuhan di sisi-Nya adalah
kepatuhan kepada-Nya, pengikraran lidah dan kalbu
bagi-Nya dengan penghambaan dan kerendahan, dan ketundukan lisan dan kalbu kepada-Nya dengan kepatuhan tentang apa yang
disuruh dan dilarang, kerendahan lisan
dan
kalbu kepada dengan itu
tanpa menyombongkan diri kepada-Nya, tanpa berpaling dari-Nya, dan tanpa menyekutukan segala sesuatu
selain Dia dengan Dia dalam
kehambaan dan ULUHIYAH.”
Thabari tidak menjadi secara khusus kata dîn (dan
juga kata islâm) pada ayat yang kedua (Qs.
[3]: 85) barangkali karena sudah dijelaskan pada ayat sebelumnya. Ini berarti bahwa makna kedua kata ini sama dengan makna yang telah
dijelasjkannya.
Sebenarnya lima kata yang disebut di sini ini, yaitu
dîn, thâ‘ah, dzillah, tadzallul, islâm, inqiyâd, dan khusyû‘
mempunyai makna asal yang berdekatan yang sulit dibedakan dan dalam konteks-konteks tertentu
yang satu menjadi sinonim bagi
yang lain.
Lalu, timbul sebuah pertanyaan: apakah kata dîn dalam
arti sebagai “sebuah sistem, yang mengandung hukum, undang-undang, peraturan, atau ajaran-ajaran yang diturunkan oleh Allah,” ditemukan dalam al-Qur’an? Atau, apakah
kata dîn yang berarti “jalan hidup yang harus ditempuh oleh manusia untuk mencapai tujuan akhir hidupnya” ditemukan dalam al-Qur’an?
Menurut Ibn ‘Arabi [ Sufi dari Andalusia yang digelari Syaikh Terbesar (al-Syaykh al-Akbar)
MEMBAGI DIN yang terdiri dari DUA JENIS:
1. DIN yang datang dari Allah (DINUL HAQ)
DIN yang datang dari
Allah adalah DIN yang dipilih oleh Allah dan diberi-Nya kedudukan yang lebih tinggi daripada DIN ciptaan. ALLAH BERFIRMAN
Al-Baqarah [2] Ayat 132
Wa Waşşá Bihā 'Ibrāhīmu Banīhi Wa
Ya`qūbu Yā Banīya 'Inna Al-Laha Aşţafá Lakumu AL-DINA Falā Tamūtunna 'Illā Wa
'Antum Muslimūna
[[Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan
itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya'kub. (Ibrahim berkata): "Hai
anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih DIN Ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali
dalam keadaan ISLAM ". (QS. 2:132)]]
Yang berarti sebagai “orang-orang tunduk”
(munqâdûn) kepada-Nya. Dîn (yang ditulis: al-dîn), dengan al-alif dan al-lâm
(kata sandang), yaitu sebuah dîn yang diketahui dan dikenal.
Al-Imran [3] Ayat 19
'Inna AD-DINA `Inda Al-Lahi Al-'Islāmu..dst
[[Sesungguhnya AD-DIN (yang diridhai) di sisi Allah
hanyalah ISLAM..dst]]
Dîn dalam
ayat ini adalah
KETUNDUKAN (INQIYAD). Yang datang dari
Allah adalah : SYAR (HUKUM) yang kepadanya anda tunduk (atau yang anda patuhi).
Maka DIN adalah KETUNDUKAN, KEPATUHAN DAN SYAR (HUKUM/WAJIB) yang di SYARIAT-kan oleh ALLAH. Barangsiapa yang bersifat dengan ketundukan kepada apa yang disyariatkan oleh Allah untuknya telah
melaksanakan dan mendirikannya DIN, yaitu MEMBANGUNNYA SEBAGAIMANA MENDIRIKAN
SHALLAT.
HAMBA (MANUSIA) adalah PEMBANGUN
(MUNSYI’’) DIN, sedangkan ALLAH adalah
PELETAK (WADHI‘) HUKUM-HUKUM. Maka ketundukan adalah perbuatan anda sendiri, dan demikian juga dîn adalah perbuatan anda.
Di sini kita melihat bahwa DIN YANG DATANG DARI ALLAH ADALAH HUKUM, SYARIAT ATAU PERATURAN yang
DILETAKAN OLEH ALLAH
UNTUK DI PATUHI MANUSIA
KONSEP INI ADALAH DIN SEBAGAI
SISTEM IDEAL, yaitu DIN YANG DI WASYIATKAN KEPADA IBRAHIM KEPADA
ANAK-ANAKNYA, yaitu DIN YANG DIPILIH OLEH ALLAH UNTUK MEREKA seperti disebutkan dalam al-Qur’an tentang
wasiat Ibrahim kepada anak-anaknya (Q 2: 132).
Dîn dalam
arti ideal
ini adalah satu dan sama karena datang dari Tuhan yang satu, tetapi ia memanifestasikan dirinya dalam
banyak
bentuk sesuai dengan
budaya umat yang ditujunya. Tetapi dîn yang datang dari
Allah tidak
akan
berarti apa-apa jika tidak dipatuhi oleh manusia.
2. DIN yang datang dari ciptaan.
Dîn yang datang dari Allah itu tidak mungkin dipatuhi tanpa dipahami atau
ditafsirkan oleh manusia. Pemahaman atau penafsiran manusia
tentang dîn itu adalah perbuatan manusia, ciptaan manusia.
Din yang datang dari
manusia adalah ketundukan atau kepatuhan
yang dilakukannya. Dîn dalam arti ini bukanlah sistem tetapi adalah
dîn personal, kualitas personal, kualitas pribadi, yang tentu saja
bersifat individual, bukan kolektif.
Aktivitas manusia
yang selalu mengalami proses yang tidak pernah berhenti. Dîn
dipahami dengan berbagai tafsir, yang pada gilirannya melahirkan
banyak
aliran, mazhab, dan sekte keagamaan.
Al Baqarah Ayat 213
Manusia itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul
perselisihan), maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi kabar gembira dan
pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab yang benar, untuk
memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan..
dst. (QS. 2:213)
Kita kembali kepada kepada pertanyaan di atas: apakah kata DIN dalam arti sebagai “SEBUAH SISTEM,
yang mengandung HUKUM, UNDANG-UNDANG, PERATURAN,
ATATU AJARAN-AJARAN YANG TURUNKAN OLEH ALLAHh,” ditemukan dalam al-Qur’an? Atau, apakah
kata DIN yang berarti “jalan hidup yang harus ditempuh oleh manusia untuk mencapai tujuan akhir hidupnya” ditemukan dalam
al-Qur’an?
Jawabnya adalah positif.
DIN yang diwasiatkan Ibrahim kepada anak-anaknya, yaitu dîn yang dipilih oleh Allah untuk mereka
seperti disebutkan dalam al-Qur’an (Qs. [2]: 132) adalah
dîn sebagai
sistem.
Kata DIN dalam arti sebagai sistem
atau
institusi dalam al-Qur’an ditemukan pula pada dua contoh
berikut:
“Dan janganlah kamu percaya kecuali kepada orang-orang yang mengikuti dîn-mu(dînukum) (Q 3: 73)
“Hari ini telah
Ku-sempurnakan untukmu dîn-mu
dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai untukmu islâm sebagai dîn.” (Q
5:3)
------------------------
BAB III : MILAH
Kita tidak boleh melupakan sebuah kata millah, sebuah
kata Arab yang biasanya, sebagaimana kata dîn, diterjemahkan dengan kata “agama” dalam
bahasa Indonesia (“religion” dalam
bahasa Inggris).
Kata MILAH SINONIM DARI KATA DIN, yang berarti sebagai SISTEM ATAU INSTITUSI.
Millah adalah
dîn sebagai sistem
atau institusi, Ajaran yang terlembaga” (institutionalized religion),
“AJARAN/KEPERCAYAAN/PANDANGAN
HIDUP/TUJUAN HIDUP/TUJUAN AKHIR dll yang terkonkritkan” (reified religion), “yang terformalkan” (formalized religion).
------------------------
BAB IV : DIN DAN MILLAH
sebagai kualitas personal atau dîn yang sepenuhnya atau perbuatan eksistensial tereifikasi proses reifikasi
Persoalan ini semakin jelas ketika kita membandingkan firman Allah yang telah disebutkan di atas (Q 3: 73) dengan firman Allah berikut (Qs. [2]: 120), yang merujuk pada situasi yang sebenarnya sama dengan menggunakan kata MILAH BERSINONIM denga DIN.
Wa Lan Tarđá `Anka Al-Yahūdu Wa Lā An-Naşārá Ĥattá
Tattabi`aMillatahumۗ Qul 'Inna Hudá Al-Lahi Huwa Al-Hudá ۗ Wa La'ini Attaba`ta 'Ahwā'ahum Ba`da Al-Ladhī Jā'akaMina
Al-`Ilmi ۙ Mā Laka Mina Al-Lahi Min Wa Līyin Wa Lā Naşīrin
[[Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidakakan senang kepada
kamu sehingga kamu mengikuti MILAH. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk
Allah itulah petunjuk (yang sebenarnya)". Dan sesungguhnya jika kamu
mengikuti kemauan mereka setelah pengetahan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi
menjadi pelindung dan penolong bagimu.(QS. 2:120)
Ada
sebuah ayat al-Qur’an secara tegas
menyinonimkan dîn dengan millah, dan sekaligus juga dengan shirâth mustaqîm. Ayat itu adalah sebagai berikut:
Qul 'InnanīHadānī Rabbī 'Ilá ŞirāţinMustaqīmin Dīnāan
Qiyamāan Millata 'Ibrāhīma Ĥanīfāan ۚ Wa Mā Kāna Mina Al-Mushrikīna
Katakanlah: "Sesungguhnya aku telah ditunjuki oleh
Rabbku kepada jalan yang lurus, (yaitu) DIN yang benar (DIN QAYYIM); MILAH Ibrahim yang lurus; dan Ibrahim itu
bukanlah termasuk orang-orang yang musyrik". (QS. 6:161)
Di dalam kutipan ayat terakir ini kita melahat bahwa al-Qur’an
menyamakan makna tiga konsep ini: shirâth
mustaqîm (jalan yang
lurus), dîn qayyim
(agama yang benar), dan millah
(agama) Ibrahim.
Dalam konteks tertentu, kata dîn bermakna asal, yaitu “kepatuhan” atau “ketundukan.” Dîn dalam arti asal ini tetap berbeda dengan
millah. Contohnya adalah kata dîndalam ayat berikut, yang telah disebut di atas:
“Sesungguhnya Kami telah
menurunkan kepadamu Kitab (al-Qur’an) dengan kebenaran. Maka sembahlah (fa‘bud) Allah dengan memurnikan dîn
kepada-Nya. Ingatlah, hanya milik Allahlah dîn yang murni (al-dîn al-khâlish).”
(Q 39: 2-3)
Mari
kita kembali memperhatikan pandangan Ibn ‘Abbas, Thabari, dan Alusi tentang MAKNA KATA DIN yang telah dikutip di
atas.
Ibn ‘Abbas mengatakan bahwa ungkapan “MEMURNIKAN DIN KEPADA-NYA (ALLAH)” adalah
“MEMRNIKAN IBADAH DAN TAUHID KEPADA-NYA
(ALLAH)”. Dalam ayat
TERSEBUT (Al-Zumar ayat 2, Al-Zumar
ayat 11 Al-Zumar ayat 14), menurutnya, DIN BERMAKNA IBADAH DAN TAUHID, yang
juga mengandung arti KEPATUHAB.
Thabari mengatakan bahwa “MEMURNIKAN
DIN KEPADA-NYA (ALLAH)” dalam ayat ini
(Al-Zumar ayat 2, Al-Zumar ayat 11 Al-Zumar ayat 14) berarti
“MEMURNIKAN KEPATUHAN, ULUHYYAH, ibadah kepada
ALLAH.”
Alusi mengatakan bahwa “MEMURNIKAN
DIN KEPADA-NYA (ALLAH)” dalam ayat
yang sama berarti “MERNIKAN IBADAH KEPADA ALLAH.
Wa Allâh a‘lam bi al-shawâb.
0 komentar "MAKNA DIN DAN MILAH DALAM AL-QUR’AN", Baca atau Masukkan Komentar
Posting Komentar